MAKALAH PKN
“Perkembangan Budaya Politik di Indonesia”
Di Bimbing
oleh: Drs. Matjais
Oleh: Diah
Martiningsih(14)
DINAS
PENDIDIKAN
SMK NEGERI 1
BAURENO
TAHUN AJARAN
2011/2012
Budaya
Politik yang Berkembang di Indonesia
Sejak negara Indonesia merdeka pada
tanggal 17 Agustus 1945 sampai era reformasi saat ini dipandang dari sudut
perkembangan demokrasi sejarah Indonesia, negara kita dalam menjalankan roda
pemerintahan dengan menggunakan demokrasi dibagi dalam empat masa. Pertama, masa
Repubik Indonesia I (1945-1959) atau yang lebih dikenal dengan era Demokrasi
Liberal atau Demokrasi Parlementer.Kedua, masa Republik Indonesia II
(1959-1965) atau yang lebih dikenal dengan era Orde Lama atau Demokrasi
Terpimpin.Ketiga, masa Republik Indonesia III (1965-1998) atau yang lebih
dikenal dengan era Orde Baru atau Demokrasi Pancasila.Dan yang terakhir yang
berlaku sampai saat ini adalah masa Republik Indonesia IV (1998-sekarang) atau
yang lebih dikenal dengan era Reformasi.
Perkembangan demokrasi di Indonesia
telah mengalami pasang surut dari setiap masa ke masa.Perkembangan demokrasi
tersebut mempengaruhi pula stabilitas sistem politik Indonesia.Karena itu
sangat penting untuk mengkaji berhasil atau tidaknya suatu rezim yang sedang
atau telah berkuasa, diperlukan suatu kerangka kerja yang dapat digunakan untuk
menjelaskan kehidupan ketatanegaraan.Dalam kajian ini adalah terkait dengan
kehidupan politiknya.Ada dua kerangka kerja yang sering digunakan oleh para
pengamat politik untuk melihat bagaimana kinerja sistem politik suatu
negara.Karena salah satu sifat penting sistem politik adalah kemampuannya untuk
dibedakan dengan sistem politik lainnya, seperti organisme dan individu
misalnya.Kedua kerangka kerja tersebut adalah pendekatan struktural-fungsional
dan pendekatan budaya politik. Dengan pendekatan struktural-fungsional akan
dapat diketahui bagaimana struktur-struktur maupun fungi-fungsi politik suatu
sistem politik bekerja. Sedangkan dengan pendekatan budaya politik akan dapat
diketahui bagaimana perilaku aktor-aktor politik dalam menjalankan sistem
politik yang dianut oleh negara masing-masing, dalam hal ini adalah elite
maupun massanya. Karena pentingnya mempelajari perkembangan sistem politik di
negara kita ini, maka dalam tulisan kali ini saya akan mencoba sedikit mengulas
mengenai perkembangan sistem politik Indonesia dari mulai era Demokrasi
Parlementer, era Demokrasi Terpimpin, era Demokrasi Pancasila, dan yang
terakhir adalah era Reformasi dengan menggunakan kerangka kerja pendekatan budaya
politik.
1.Era Demokrasi Parlementer
(1945-1950)
Budaya politik yang berkembang pada
era Demokrasi Parlementer sangat beragam. Dengan tingginya partisipasi massa
dalam menyalurkan tuntutan mereka, menimbulkan anggapan bahwa seluruh lapisan
masyarakat telah berbudaya politik partisipan. Anggapan bahwa rakyat mengenal
hak-haknya dan dapat melaksanakan kewajibannya menyebabkan tumbuhnya deviasi
penilaian terhadap peristiwa-peristiwa politik yang timbul ketika itu (Rusadi
Kantaprawira, 2006: 190).Percobaan kudeta dan pemberontakan, di mana
dibelakangnya sedikit banyak tergambar adanya keterlibatan/keikutsertaan
rakyat, dapat diberi arti bahwa kelompok rakyat yang bersangkutan memang telah
sadar, atau mereka hanya terbawa-bawa oleh pola-pola aliran yang ada ketika
itu.
Para elite Indonesia yang disebut
penghimpun solidaritas (solidarity maker) lebih nampak dalam periode
demokrasi parlementer ini.Walaupun demikian, waktu itu terlihat pula munculnya
kabinet-kabinet yang terbentuk dalam suasana keselang-selingan pergantian
kepemimpinan yang mana kelompok adminitrators memegang peranan.Kulminasi
krisis politik akibat pertentangan antar-elite mulai terjadi sejak terbentuknya
Dewan Banteng, Dewan Gajah, dan PRRI pada tahun 1958. Selain itu, dengan gaya
politik yang ideologis pada masing-masing partai politik menyebabkan tumbuhnya
budaya paternalistik. Adanya ikatan dengan kekuatan-kekuatan politik yang
berbeda secara ideologis mengakibatkan fungsi aparatur negara yang semestinya
melayani kepentingan umum tanpa pengecualian, menjadi cenderung melayani
kepentingan golongan menurut ikatan primordial.Selain itu, orientasi pragmatis
juga senantiasa mengiringi budaya poltik pada era ini.
2.Era Demokrasi Terpimpin (Dimulai
Pada 5 Juli 1959-1965)
Budaya politik yang berkembang pada
era ini masih diwarnai dengan sifat primordialisme seperti pada era
sebelumnya.Ideologi masih tetap mewarnai periode ini, walaupun sudah dibatasi
secara formal melalui Penpres No. 7 Tahun 1959 tentang Syarat-syarat dan
Penyederhanaan Kepartaian.Tokoh politik memperkenalkan gagasan Nasionalisme,
Agama, dan Komunisme (Nasakom).Gagasan tersebut menjadi patokan bagi
partai-partai yang berkembang pada era Demorasi Terpimpin.Dalam kondisi
tersebut tokoh politik dapat memelihara keseimbangan politik.
Selain itu, paternalisme juga bahkan
dapat hidup lebih subur di kalangan elit-elit politiknya.Adanya sifat
kharismatik dan paternalistik yang tumbuh di kalangan elit politik dapat
menengahi dan kemudian memperoleh dukungan dari pihak-pihak yang bertikai, baik
dengan sukarela maupun dengan paksaan. Dengan demikian muncul dialektika bahwa
pihak yang kurang kemampuannya, yang tidak dapat menghimpun solidaritas di
arena politik, akan tersingkir dari gelanggang politik. Sedangkan pihak yang
lebih kuat akan merajai/menguasai arena politik.
Pengaturan soal-soal kemasyaraktan
lebih cenderung dilakukan secara paksaan.Hal ini bisa dilihat dari adanya teror
mental yang dilakukan kepada kelompok-kelompok atau orang-orang yang kontra
revolusi ataupun kepada aliran-aliran yang tidak setuju dengan nilai-nilai
mutlak yang telah ditetapkan oleh penguasa.
Dari masyarakatnya sendiri, besarnya
partisipasi berupa tuntutan yang diajukan kepada pemerintah juga masih melebihi
kapasitas sistem yang ada.Namun, saluran inputnya dibatasi, yaitu hanya
melalui Front Nasional.Input-input yang masuk melalui Front Nasional
tersebut menghasilkan output yang berupa output simbolik melalui
bentuk rapat-rapat raksasa yang hanya menguntungkan rezim yang sedang berkuasa.
Rakyat dalam rapat-rapat raksasa tidak dapat dianggap memiliki budaya politik
sebagai partisipan, melainkan menujukkan tingkat budaya politik kaula, karena
diciptakan atas usaha dari rezim.
3.Era Demokrasi Pancasila (Tahun
1966-1998)
Gaya politik yang didasarkan
primordialisme pada era Orde Baru sudah mulai ditinggalkan. Yang lebih menonjol
adalah gaya intelektual yang pragmatik dalam penyaluran tuntutan. Dimana pada
era ini secara material, penyaluran tuntutan lebih dikendalikan oleh koalisi
besar (cardinal coalition) antara Golkar dan ABRI, yang pada hakekatnya
berintikan teknokrat dan perwira-perwira yang telah kenal teknologi modern.
Sementara itu, proses pengambilan
keputusan kebijakan publik yang hanya diformulasikan dalam lingkaran elit
birokrasi dan militer yang terbatas sebagaimanaa terjadi dalam tipologi
masyarakat birokrasi.Akibatnya masyarakat hanya menjadi objek mobilisasi
kebijakan para elit politik karena segala sesuatu telah diputuskan di tingkat
pusat dalam lingkaran elit terbatas.
Kultur ABS (asal bapak senang) juga
sangat kuat dalam era ini.Sifat birokrasi yang bercirikan patron-klien
melahirkan tipe birokrasi patrimonial, yakni suatu birokrasi dimana
hubungan-hubungan yang ada, baik intern maupun ekstern adalah hubungan antar
patron dan klien yang sifatnya sangat pribadi dan khas.
Dari penjelasan diatas,
mengindikasikan bahwa budaya politik yang berkembang pada era Orde Baru adalah
budaya politik subjek.Dimana semua keputusan dibuat oleh pemerintah, sedangkan
rakyat hanya bisa tunduk di bawah pemerintahan otoriterianisme Soeharto.
Kalaupun ada proses pengambilan keputusan hanya sebagai formalitas karena yang
keputusan kebijakan publik yang hanya diformulasikan dalam lingkaran elit
birokrasi dan militer.
Di masa Orde Baru kekuasaan
patrimonialistik telah menyebabkan kekuasaan tak terkontrol sehingga negara
menjadi sangat kuat sehingga peluang tumbuhnya civil society
terhambat. Contoh budaya politik Neo Patrimonialistik adalah :
a.Proyek di pegang pejabat.
b.Promosi jabatan tidak melalui
prosedur yang berlaku (surat sakti).
c.Anak pejabat menjadi pengusaha
besar, memanfaatkan kekuasaan orang tuanya dan mendapatkan perlakuan istimewa.
d.Anak pejabat memegang posisi
strategis baik di pemerintahan maupun politik.
4.Era Reformasi (Tahun
1998-Sekarang)
Budaya politik yang berkembang pada
era reformasi ini adalah budaya politik yang lebih berorientasi pada kekuasaan
yang berkembang di kalangan elit politik.Budaya seperti itu telah membuat
struktur politik demokrasi tidak dapat berjalan dengan baik.Walaupun struktur
dan fungsi-fungsi sistem politik Indonesia mengalami perubahan dari era yang
satu ke era selanjutnya, namun tidak pada budaya politiknya.Menurut Karl D.
Jackson dalam Budi Winarno (2008), budaya Jawa telah mempunyai peran yang cukup
besar dalam mempengaruhi budaya politik yang berkembang di Indonesia.Relasi
antara pemimpin dan pengikutnya pun menciptakan pola hubungan patron-klien
(bercorak patrimonial).Kekuatan orientasi individu yang berkembang untuk meraih
kekuasaan dibandingkan sebagai pelayan publik di kalangan elit merupakan salah
satu pengaruh budaya politik Jawa yang kuat.
Menurut penelitian yang dilakukan
oleh Agus Dwiyanto dkk dalam Budi Winarno (2008) mengenai kinerja birokrasi di
beberapa daerah, bahwa birokrasi publik masih mempersepsikan dirinya sebagai
penguasa daripada sebagai abdi yang bersedia melayani masyarakat dengan baik.
Hal ini dapat dilihat dari perilaku para pejabat dan elit politik yang lebih
memperjuangkan kepentingan kelompoknya dibandingkan dengan kepentingan rakyat
secara keseluruhan.
Dengan menguatnya budaya
paternalistik, masyarakat lebih cenderung mengejar status dibandingkan dengan
kemakmuran.Reformasi pada tahun 1998 telah memberikan sumbangan bagi
berkembangnya budaya poltik partisipan, namun kuatnya budaya politik
patrimonial dan otoriterianisme politik yang masih berkembang di kalangan elit
politik dan penyelenggara pemerintahan masih senantiasa mengiringi. Walaupun
rakyat mulai peduli dengan input-input politik, akan tetapi tidak
diimbangi dengan para elit politik karena mereka masih memiliki mentalitas
budaya politik sebelumnya. Sehingga budaya politik yang berkembang cenderung
merupakan budaya politik subjek-partisipan.
Menurut Ignas Kleden dalam Budi
Winarno (2008), terdapat lima preposisi tentang perubahan politik dan budaya
politik yang berlangsung sejak reformasi 1998, antara lain:
1.
Orientasi Terhadap kekuasaan
Misalnya
saja dalam partai politik, orientasi pengejaran kekuasaan yang sangat kuat
dalam partai politik telah membuat partai-partai politik era reformasi lebih
bersifat pragmatis.
2.
Politik mikro vs politik makro
Politik
Indonesia sebagian besar lebih berkutat pada politik mikro yang terbatas pada
hubungan-hubungan antara aktor-aktor politik, yang terbatas pada tukar-menukar
kepentingan politik.Sedangkan pada politik makro tidak terlalu diperhatikan
dimana merupakan tempat terjadinya tukar-menukar kekuatan-kekuatan sosial
seperti negara, masyarakat, struktur politik, sistem hukum, civil society,
dsb.
3.
Kepentingan negara vs
kepentingan masyarakat
Realitas
politik lebih berorientasi pada kepentingan negara dibandingkan kepentingan
masyarakat.
4.
Bebas dari kemiskinan dan
kebebasan beragama
5. Desentralisasi politik
Pada kenyataannya yang terjadi
bukanlah desentralisasi politik, melainkan lebih pada berpindahnya sentralisme
politik dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah.
Dengan demikian, budaya politik era
reformasi tetap masih bercorak patrimonial, berorientasi pada kekuasaan dan
kekayaan, bersifat sangat paternalistik, dan pragmatis.Hal ini menurut
Soetandyo Wignjosoebroto dalam Budi Winarno (2008) karena adopsi sistem politik
hanya menyentuh pada dimensi struktur dan fungsi-fungsi politiknya, namun tidak
pada budaya politik yang melingkupi pendirian sistem politik tersebut.
Referensi:
Kantaprawira,
Rusadi. 2006. Sistem Politik Indonesia Suatu Model Pengantar. Bandung:
Sinar Baru Algensindo. Cetakan ke X.
Marijan,
Kacung. 2010. Sistem Politik Indonesia: Konsolidasi Demokrasi Pasca Orde
Baru. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Winarno,
Budi. 2008. Sistem Politik Indonesia Era Reformasi. Yogyakarta: Media
Pressindo.